Sekuncup Niat

Sore itu Madinah cukup terik. Temperatur musim panas yang mencapai 380 Celcius dan angin kering khas iklim gurun ala Saudi menyapu wajahku yang membuat butir-butir air wudhu menguap sekejap. Saat itu menjelang waktu Shalat Ashar.  Bersama ayah, aku melangkah dengan tergesa menuju pintu Umar bin Khattab Masjid Nabawi. Sesampainya di pintu masjid, kami mengemas alas kaki ke dalam tas dan memasuki masjid. Suasana terik berubah menjadi sejuk seketika. Maka menjadi kebiasaan bagiku menuju tempat meminum air zam zam sesampainya di masjid. Kurapal beberapa doa sesaat sebelum meminum air dan kuulangi tiga kali.

Setelah merasa cukup, aku bergegas menuju barisan depan yang perlahan mulai padat oleh jamaah. Sesaat, aku mendengar riuh suara anak-anak. Kualihkan pandangan ke sisi kanan penglihatanku. Kulihat sekumpulan anak-anak kecil yang sedang membaca Al Qur’an bersama-sama. Kulihat mereka lekat-lekat, mereka berbeda satu sama lain. Ada yang berperawakan bangsa Arab, Afrika, dan bule. Rukun, ceria, dan indah, itulah padanganku tentang mereka.

Melihat pemandangan tesebut, kurapal doa dalam senyap. Kuutarakan maksud hati ini kepada Dzat yang Maha Mengetahui segala isi hati, agar aku juga dapat diberikan kesempatan seperti mereka untuk memperoleh hikmah dan pembelajaran Al Qur’an di tanah harram ini, di tanah Harram-Nya. Kutinggalkan pemadangan itu seraya tersenyum mengamini doa yang kurapal dalam hati. Aku pun berjalan menuju bagian depan masjid. Selang beberapa saat, adzan Ashar berkumandang. Kami dirikan shalat empat rakaat terbilang. Selesai shalat, aku dan ayah pulang kembali ke penginapan tanpa lupa untuk meneguk beberapa gelas air zamzam tentunya. Setelah itu kami keluar menuju pintu dimana kami masuk.

Menjelang pukul 7 malam, langit Madinah menampilkan pesona senja merona. Aku telah bersiap menuju masjid dengan pakaian gamis ala penduduk pribumi, hehe. Aku paling menyukai pakaian ini. Alasannya hanya satu, Simple!

Sebelum berangkat, kuambil mushaf dan kusimpan dalam tas. Aku biasa membacanya setelah shalat Magrib dan kali ini akan kulakukan hingga adzan Isya. Sesampainya di masjid, kureguk beberapa gelas zamzam sebagaimana biasa. Aku pun beranjak ke sisi depan masjid. Setelah mendirikan shalat 2 rakaat sebagai penghormatan terhadap masjid, selang beberapa lama adzan Magrib berkumandang. Kami pun mendirikan shalat berjamaah.

Setelah selesai shalat ba’diyah, kuambil mushaf dari tas cangklong yang kubawa dan perlahan kubaca basmallah seraya mulai membaca. Beberapa saat setelah kumulai membaca, ada seseorang yang datang tepat disampingku. Tampaknya ia hendak mendirikan shalat sunnah. Bagaimana pun ia, aku tetap melanjutkan bacaan Qur’anku.

Selang beberapa lama, ada suara yang mengintai bacaanku. Suara itu berasal dari orang yang berada disampingku itu. Ia bermaksud memperbaiki bacaan Qur’anku yang belum benar. Aku memahami maksudnya baiknya karenanya aku tetap melanjutkan membaca sembari mendengarkan dirinya jika bacaanku kurang tepat. Tak lama kemudian, lelaki ini beridiri. Aku mengira ia hendak pergi. Aku pun menoleh padanya seraya ingin mengucapkan terima kasih. Bak gayung bersambut, ia pun juga menoleh padaku dengan tersenyum. Aku pun berjabat tangan seraya membalas senyumnya dan berkata,

“Syukran, Jazakallahu khairan”

Dia pun tersenyum mengamini. Masih belum terlepas jabat tangan kami, ia berkata sesuatu dalam bahasa Arab yang tak kupahami. Setelah kucoba mencerna apa yang ia katakan, ia bermaksud membantuku dalam memperbaiki bacaanku yang belum benar. Aku terkesiap. Aku mencoba mengingat sesuatu yang pernah kulihat sebelumnya. Deja vu begitu orang bilang. Tanpa sempat mengingatnya, aku pun mengangguk menerima ajakannya. Kami pun mentartil Qur’an. Ia memintaku membaca terlebih dahulu, agar kemudian ia perbaiki bacaan yang belum benar, demikian tuturnya yang kucoba pahami.

Fiuh, alangkah banyaknya kesalahanku dalam membaca Al Qur’an, terutama dalam hal makhraj atau pelafalan huruf. Namun, alangkah luar biasa saudara seimanku ini. Ia begitu sabar mengajarkanku bagaimana melafal huruf Al Qur’an yang seharusnya padahal kami belum saling mengenal. Aku pun bertanya dalam hati. Adakah persaudaraan yang lebih baik selain karena iman?

Tampaknya kerongkonganku mulai kering. Rasa haus yang menyergap membuatku perlu meneguk beberapa gelas air. Tampaknya saudaraku ini pun menyadari bahwa kami butuh melapisi kerongkongan kami dengan beberapa teguk air. Ia memintaku istirahat sejenak. Ia meminta seorang anak kecil yang duduk didekatnya untuk mengambilkan kami air zamzam. Ternyata anak tersebut adalah adik dari saudaraku ini.

Anak itu pun membawakan dua gelas yang berisi air zamzam, untukku dan untuk kakaknya. Agak canggung aku menerimanya. Aku merasa menjadi orang yang tidak tahu diri. Aku pun meminumnya. Ketika aku sedang minum, saudaraku ini menatapku. Kemudian ia pun memintaku untuk menghela nafas sejenak. Ia mengisyaratkanku untuk menelungkupkan tangan didepan dada seraya berdoa,

“Allahumma inni as’aluka ilman nafi’an, warizqon wasia’an, wasyifa’an minkulli da’in, wasaqomin, ya arhamarrohimiin” (“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kapada-Mu ilmu yang manfaat, rizki yang luas dan obatilah dari segala penyakit dan penderitaan, wahai dzat yang memberi rahmat”).

Aku pun mengamini doanya. Kulihat wajahnya, ia pun tesenyum. Ternyata doanya belum selesai. Ia menambahkan satu bait doa,

“Allahumma anta kholiqu kulli nafsin wajaa’ilu kullin minha zaujaha fahab lii zaujan shaliha”

(“Ya Allah Ya Tuhan kami, Engkau pencipta setiap jiwa dan engkaulah yang menjadikan setiap jiwa itu berpasangan, maka berikanlah kami pasangan yang Soleh”).

Aku tersenyum mendengar doanya. Meskipun ia melafalkan dalam bahasa Arab, aku tahu makna doa yang baru saja ia lafalkan. Aku pun mengamininya dengan Amin yang paling takzim. Setelah istirahat sejenak, kami kembali melanjutkan bacaan Qur’an. Tak lama setelah itu, kami menutup bacaan Qur’an kami. Kemudian, kami saling berbagi cerita, berbagi makna tentang asal usul kami, keluarga, dan tempat kemana kami akan menuju.

Namanya Muhammad. Ia adalah seorang arab yang tampan. Perawakannya besar, matanya biru lagi bening, dan kulitnya bersih. Dia berusia 33 tahun dan telah menikah. Ia memiliki 3 orang anak-anak yang masih kecil. Ia pun menunjukan foto ketiga anaknya yang menjadi wallpaper ponselnya. Aku tersenyum. Saat ini, ia sedang dalam perjalanan umroh bersama saudara-saudaranya, termasuk anak kecil yang membawakanku segelas air zamzam. Insya Allah ia akan bertolak menuju Mekkah esok hari. Demikian penuturannya yang berusaha kutangkap dengan pemahaman bahasa arab yang pas-pasan.

Adzan Isya berkumandang, kami pun mendirikan shalat berdampingan, baik itu shalat sunnah qobliyah, isya, dan sunnah ba’diyah. Selepas shalat, ia mengajakku makan malam bersama-sama. Aku tertegun sejenak.

“Ya Allah, betapa mulia akhlak Islam yang Engkau anugerahkan padanya”, gumamku dalam hati. Aku tersenyum padanya dan menjelaskan padanya bahwa aku belum bisa memenuhi ajakannya saat ini karena ayahku menungguku pulang bersama. Ia memahami kondisiku dan tersenyum. Kami bersalaman dan berpamitan. Dalam genggaman eratnya, ia mengatakan sesuatu padaku, “ilal liqo fi Makkah al mukarramah, insha Allah

“Insya Allah, amin.”, balasku,“Assalamualaikum”.

“Waalaikumsalam”, jawabnya dan adiknya.

Aku pun berjalan menuju tempat ayahku shalat. Kami terpisah semenjak aku bertemu saudaraku itu. Ayahku bertanya, “Wah, kenalan sama orang Arab kamu ya?” “Hehe, iya. Belajar ngaji pa. Alhamdulillah.” jawabku. Kami pun berjalan menuju pintu keluar.

Dalam langkahku menuju pintu keluar, tak henti-hentinya aku bersyukur atas apa yang baru saja terjadi. Aku menyadari bahwa Allah baru saja mengabulkan pengharapanku, yaitu do’a yang kulafalkan dalam hati ketika hendak shalat Ashar hari ini. Aku bisa memperoleh hikmah dan pembelajaran Al Qur’an di tanah harram ini, di tanah Harram-Nya.

Peristiwa ini menjadi titik balik bagi kehidupanku. Cerita yang membuatku menyadari sepenuhnya bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang berdoa. Meskipun hanya dengan sekuncup niat, Allah menepati janji-Nya,

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka katakanlah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi  dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”

– QS. Al Baqarah (2) : 186

Selain itu, cerita ini selalu mengingatkanku akan manisnya persahabatan dalam ikatan iman. Pertemuanku dengan Muhammad di Masjid Nabawi pada Juli 2010 lalu terbilang singkat dan kami tidak saling kenal sebelumnya. Namun dari waktu yang singkat itu, Allah angkat keterhijabanku tentang makna ukhuwah.

“Ukhuwah. Persaudaraan di atas dasar iman”, demikian tulis Salim A. Fillah dalam bukunya, “Dalam Dekapan Ukhuwah”. “Iman itu mengikatkan kita dalam persaudaraan yang menembus ruang dan masa. Ia menyatukan kita dalam doa-doa yang kita bagi pada sesama peyakin sejati”, tulisnya.

Maka pertemuanku dengan Muhammad menjadi sebuah tonggak sejarah yang akan selalu kukenang. Karena pertemuaan dengannya adalah rencana Allah yang tidak hanya mengisyaratkanku untuk memperbaiki bacaan Qur’anku, tetapi juga memahami makna firman-Nya tentang persaudaraan yang sesungguhnya.

“Sesungguhnya tiap-tiap mukmin itu bersaudara..”

– QS. Al Hujuuraat (49) : 10

“…Dan Allah yang mempersatukan hati para hamba beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan mereka…”

QS. Al Anfaal (8) : 63

“Janganlah kalian saling membenci”, begitu Rasulullah besabda seperti dicatat Al Bukhari dalam Shahihnya, Jangan kalian saling dengki dan saling membelakangi karena permusuhan dalam hati… Tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara…”

Prolog “Dalam Dekapan Ukhuwah, Salim A. Fillah

 

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 dihttp://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

 

Leave a comment